Selasa, 20 November 2018


MELUKIS SENYUM KIAI

Cerpen: Fathor Rosy

Malam beringsut dengan jejak yang dingin. Suara santri yang sebelumnya menghafal nazam imrithi mulai sunyi setelah mereka tidur, berganti bunyi cecak dan suara semilir angin, yang menggesek-gesek sanggul daun mangga di halaman pondok, angin itu pun berembus ke dalam pondok lewat daun pintu yang masih terbuka. Mathalil merasakannya bagai sisiran lirih angin tenggara yang bertiup di kampungnya, maka ia pun rindu akan eloknya kampung halaman, dan rindu berkumpul dengan orang-orang tercinta. Saat itu pula tiba-tiba tangisnya pecah, air matanya membasahi lantai Pondok Pesantren Miftahul Huda yang retak termakan waktu, menampakkan liuk garis renggang dari pintu ke bawah sebuah lemari.

Tepat di salah satu sudut kamar pondok, Mathalil bersila dengan wajah murung. Bahunya bersandar pada tembok yang agak buram karena lama tak dicat, pikirannya melayang jauh ke kampung halaman, di mana Mathalil pertama kalinya belajar ditatih kedua orangtuanya.
Sejenak, matanya melirik ke luar jendela; bulan mengapung di sebalik dahan mangga,  seolah ia tahu apa yang sedang dirasakan Mathalil malam itu, ia tampak temaram dijilam awan seakan berat melawan kerinduan. Durahem, sahabat Mathalil tiba-tiba beranjak dari sajadahnya usai melaksanakan salat Tahajud, ia menghampiri Mathalil dengan maksud menenangkan.

“Mat, kenapa kamu menangis,” tanya Durahem sambil mengelus bahu kiri Mathalil.

“Aku tidak apa-apa kok, Dur. Hanya saja Aku rindu kampung halaman, sudah enam tahun aku tidak pulang karena tak punya ongkos naik Bus ke Banyuwangi, lagi pula, kirimanku hanya dua kali dalam setahun,” jawab Mathalil sembari mengusap airmata di pipinya.

“Haaaah.”???...Hanya gara-gara itu kau menangis, malu sama kucing lho,” ungkap Durahem seraya tersenyum. “Aku juga sudah enam tahun tidak pulang, tapi pantang untuk menangis,” imbuhnya menyombongkan diri. Tiba-tiba Mathalil langsung berdiri dan mengambil tempat ke samping Dulkawi yang sudah lelap, ia sedikit malu kepada Durahim karena dirinya menangis.

Malam semakin larut, bulan temaram hijrah ke balik rimbun daun. Dingin menusuk. Mathalil tak langsung bisa memejamkan mata. Ia berpikir, bahwa kerinduan santri kepada kampung halamannya adalah ujian manis yang harus tabah dihadapi, terlebih bagi santri yang mondok di pesantren yang sunyi karena santrinya sedikit, seperti di pondok pesantren Miftahul Huda, tempat Mathalil mondok itu. Pondok Pesantren Miftahul Hudaberada di tengah padat penduduk Desa Gapura Timur Sumenep. Di pondok itu hanya ada tiga orang santri putra dan beberapa santri putri, semuanya di bawah asuhan Kiai Aswar dan Nyai Hoseya.

Belum seberapa pulas, seketika Mathalil terkejut dengan sebuah pekik suara yang menelusup lewat celah ventilasi. Ia pun bangun sambil mengucek-ngucek matanya.

“Assalatu Khairumminannaum,” suara Dulkawi yang mengumandangkan azan di Masjid Baitut Taqwa menggetarkan langit bersamaan dengan pulangnya fajar, menyambut embun di penghijau sawah, dan menarik selimut warga untuk bangun. Mathalil dan Durahem pergi berwudu dan langsung menuju masjid.

Tasbih cokelat berbalut warna keemasan terus berputar di tangan kanan Kiai Aswar, Dia sangat khusuk bersila menghadap kiblat di mihrab masjid. Terus memuji kebesaran Ilahi dari bibirnya yang tak pernah letih, ia menanti kedua santrinya. Sementara Dulkawi usai mengumandangkan azan pun juga duduk di belakang beliau, dengan fasih menyairkan Shalawat Nahdliyah lewat pengeras suara. Tetangga-tetangga sekitar pun berbondong-bondong untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Demikian pula dengan Nyai Hoseya yang datang dengan seluruh santri putri memakai mukena putih. Selang beberapa menit Mathalil dan Durahem juga datang berlari-lari karena takut ketinggalan salat berjamaah. Hinggg Dulkawi memutuskan untuk beriqamah melihat jamaah rampung semua.

                                     ***

Rekah bibir Sang Surya terpancar indah di setiap mata yang memandangnya, menebar terang pada tembok pondok Miftahul Huda, pun ke beberapa petak sawah yang ada di sekelilingnya. Membuat bahagia santri putri yang sedang menyapu daun mangga kering yang semalam gugur ditiup angin. Tak terkecuali Mathalil yang pagi itu tengah membuka kitab tafsir yang begitu tebal, untuk sekadar membaca meski belum paham apa yang dia baca. Baru membuka lembar pertama, tiba-tiba kiai Aswar memanggilnya dari dhalem¹

“Mat, Mat !...coba sini!” suara Kiai Aswar agak nyaring.

“Baik Kiai,” sahut Mathalil yang saat itu ada di teras pondok. Sebagai santri yang patuh, Dia langsung berlari menghampiri Kiai Aswar dan berdiri sopan di depan pintu dhalem.

“Anu Mat, di dapur ada pakan ayam yang tadi sudah disiapkan santri putri, tolong kamu beri makan ayam-ayamku di kandang,” dawuh kiai Azwar kepada Mathalil.

“Baik Kiai, akan saya kerjakan,” Mathalil menjawab dengan santun.

“Dan tolong juga di utara dapur ada kayu bakar yang masih besar, tolong kamu potong, biar santri putri gampang jika mau memasak,” tambah Kiai Aswar pada Mathalil. “Baik Kiai,” lagi-lagi Mathalil mengiyakan perintah gurunya dan langsung mengerjakannya dengan ikhlas, bagi Mathalil cerdas tak berguna jika melupakan yang membuat dia cerdas, yaitu gurunya.

Di dinding pondok jam segi empat warna putih itu telah meletakkan jarumnya pada angka 07.00, itu artinya waktunya santri pergi ke sekolah. Jarak Sekolah dan Pondok kurang lebih 300 meter. Durahem dan Dulkawi sudah siap berangkat ke sekolah berseragam putih abu-abu, dan buku pelajarannya pun digenggam erat di tangan kanannya tanpa tas ransel di punggungnya.
Sementara Mathalil masih ada di dalam kandang ayam, belum selesai melaksanakan perintah Kiai, mukanya kusam dan kedua tangannya kotor dengan pakan ayam. Bagi Mathalil datag terlambat ke sekolah sudah menjadi sarapan, karena dia memang lebih mendahulukan mengabdi pada pada Kiai ketimbang belajar. Tapi anehnya meski di pondok hanya sebatas membuka kitab, namun ketika di sekolah, ia lebih menguasai pelajaran ketimbang murid yang lain. Mungkin dia lebih yakin bahwa Barokah seorang guru terletak pada mentaati perintahnya.

“Mat, Aku berangkat duluan ya karena sudah mau telat nih,” Dulkawi memanggilnya dari halaman pondok sambil melirik Jam tangan hitam bermerk Swiss Army di lengan kirinya.

“Iya, Dul, sana berangkat nanti saya nyusul,” sahut Mathalil dengan keras dari dalam kandang ayam. Ketiga santri itu (Mathalil, Durahem, dan Dulkawi) memang memiliki karakter yang berbeda. Namun mereka tetap kompak saat sama-sama di pondok. Mathalil mulai sejak kecil memang sudah terbiasa dengan kerja keras dan kerja berat karena lahir dari keluarga tak punya, sementara Durahem dan Dulkawi terkenal sangat manja karena keduanya berasal dari keluarga pejabat dan pedagang.

Tanpa disadari nampaknya jarum jam terus berputar bersama matahari. Melihat jam dinding yang terpampang di teras dhalem menunjukkan 07.15, membuat Mathalil terburu-buru masuk kamar mandi karena hari Senin, jam pertama yang mengajar adalah Pak Hasan yang dikenal sangat sangat disiplin.

Keluar dari kamar mandi bersarung handuk langsung menuju Pondok untuk memakai seragam dan mengambil buku pelajaran. Ia berkemas dan langsung berlari, menuju sekolah. Tapi meski berlari terburu-buru, akhirnya Mathalil juga terlambat.

“Kenapa Kamu lambat?” tanya Pak Hasan tegas.

“Anu, Pak, barusan Aku gak langsung berangkat Karena masih disuruh memberi pakan ayam oleh Kiai,” Mathalil menjawab apa adanya di depan teman-temannya yang sudah duduk manis di kursi dengan buku pelajaran masing-masing. Mendengar jawaban itu, teman-temannya langsung menertawakan Mathalil terbahak-bahak. Lalu Pak Hasan menyuruh Mathalil duduk.
Tak sampai lima menit Mathalil duduk, Nomor urut absensi tiba pada nama Mathalil.

“Mathaaalil. Ayo ke depan! baca tafsir yang telah kauhafalkan,” perintah Pak Hasan.

“Baik Pak,” jawab Mathalil. Dalam durasi waktu 2 menit Mathalil selesai menghafalnya tanpa kaku dan sangat lancar sekali.

“Subhanallah, luar biasa kamu, Nak.” Sanjung Pak Hasan sambil memberi nilai Plus 8 di buku Aabsensinya. Semua murid kls XI pun kaget dan kagum dengannya, di antara mereka bahkan ada yang bilang lebih hebat dari Pak Hasan.

“Pantasnya kamu yang ngajar, Mat, bukan Pak Hasan,” ucap Madrusin bertepuk tangan.

“Ah, kamu ini gak baik tau ngomong seperti itu, guru tetap di atas kita, barokahnya itu yang paling kita butuhkan,” uungkas Mathalil menasihatinya. Dulkawi pun kagum, ia membisiki Durahem.

“Dur, ada yang aneh tidak sih, padahal kita lihat sendiri tadi pagi Mathalil hanya membuka kitab tanpa membacanya, dan ia langsung dipanggil Kiai untuk memotong kayu dan memberi pakan ayam.”

“Iya, Dul, aku merasa heran juga barangkali itu yang disebut ilmu Laduni, karena Mathalil banyak mengabdi ketimbang kita,” jawab Durahem menepuk paha kanan Dulkawi.

Matahari sudah tepat berada di atas kepala, sinarnya menampar pekarangan Pondok Miftahul Huda yang berpasir dan berkerikil. Mathalil baru saja pulang sekolah, belum selesai membuka ikat tali sepatu, Kiai Aswar memanggil Mathalil.

“Mat, kamar mandi di dalam itu bocor. Soalnya akhir-akhir ini airnya sering surut, coba kamu cek. Jika bocor, tolong perbaiki. Semen dan alat lainnya, ambil di gudang di belakang kandang ayam,” perintah kiai kepadanya. Tak peduli lelah, Mathalil langsung melaksanakan perintah kiainya itu. sedang Dulkawi dan Durahem, tidur siang dengan pulas, tapi Mathalil tidak iri pada kedua temannya itu.

Di dalam bak kamar mandi itu, ia bekerja dengan ikhlas, menguras air dan debu yang mengental di dalamnya, membersihkan lumut yang berkerak dengan gesek halus kain kasar. Ia anggap sebagai gerakannya sebagai caraterindah menggapai cahaya barokah dari sang guru. Siang menusukkan terik, membuat peluh Mathalil burai berceceran, letih menyergap pelupuk matanya, berseling gemertap tulang persendian yang sakit, tapi Mathalil tak mengeluh, ia terus bekerja demi senyum sang kiai, hingga akhirnya kamar mandi itu kembali seperti semula.

                                    ***
Pada suatu hari yang lain, cincin kawin Nyai Hoseya tercebur ke dalam sumur, yang ada di samping rumahnya, sumur tua dengan perigi batu berlumut hijau itu agak dangkal, tapi untuk masuk ke dalamnya butuh tenaga ekstra karena periginya licin. Nyai Hoseya selalu menangis tiap saat teringat cincin itu.Setelah Kiai Azwar mengetahui hal itu, ia langsung beranjak ke luar dhalem dan memanggil Mathalil.

“Mat! cincin istriku hilang saat dia menimba air. Dan cincin itu adalah pemberianku sewaktu nikah dulu. Jika kamu berkenan aku ingin bantuanmu mencari cincin itu ke dalam sumur,” suara Kiai Aswar agak terisak, matanya temaram seperti sedih.

“Baik, Kiai. Insya Allah akan saya cari,” ucap Mathalil tanpa bimbang sedikitpun Mathalil menyanggupi perintah itu. sebelum turun ke sumur ia meminjam tangga bambu ke tetangga sebelah. Si tetangga itu mengkhawatirkan Mathalil setelah mengaku ingin turun ke sumur. Tapi Mathalil tersenyum, “Jiwa, raga bahkan nyawa saya ini akan kupersembahkan untuk guru saya, demi beliau tersenyum,” jawabnya tegas.

Di sumur itu Mathalil, hanya ditemani cakaran terik matahari, irama gesek daun yang gugur ke tanah atau bunyi air sumur yang dijatuhi runtuhan kecil batu-batu. Setelah berhasil meletakkan tangga yang menghujam ke dasar sumur, ia pun turun meski dengan tangan gemetar, mulultnya tak usai melafal basamalah. Turun setangga demi setangga. Kian bertemu dengan gelap dan pengap.

Entah di tangga keberapa, tiba-tiba Mathalil jatuh tercebur, beruntung dia bisa berteriak keras, hingga teman-teman, kiai dan para tetangga datang menolongnya. Nyawanya nyaris tak tertolong, setelah berhasil diangkat ke atas, ia pingsan. Tubuhnya kaku, gemetar dan putih.

Kiai Aswar panik memanggil tenaga medis untuk mengobati santri idolanya itu. Dulkawi dan Durahem membaca yasin. Santri putri, termasuk Nyai Hoseya menangis histerus. Susasana pondok pesantren Miftahul Huda bagai didera bandang besar.

Tapi kemudian Mathalil sadar, ia membuka matanya yang bening. Senyumnya pelan mengembang di sepasang bibirnya yang basah.

“Santri yang berkorban demi kiai, mestinya kalian iringi senyum, jangan iringi tangis. Saya tidak apa-apa. Tapi hanya tertidur karena ngantuk, dalam tidurku itu, saya bermimpi bertemu puluhan malaikat, yang membawa aneka bunga untuk para santri yang taat kepada kiainya, yang selalu ingin melukis senyum kiainya,” ucap Mathalil membuat orang-orang tertegun heran.

Bungduwak, 18 Nov 2018

Dhalem¹: Rumah Kiai (Madura)

Tentang Penulis:
Fathor Rosy, terlahir di Bungduwak, Gapura Timur, Gapura Sumenep 07 November 2002. Tumbuh sebagai Anak Desa tak membuat semangatnya terpencil. Saat ini dia masih aktif sebagai santri Kls XI MA Al-Huda, Pangabasen Gapura Timur. Mulai belajar menulis Saat aktif di Sanggar “Tujuh Kejora.” Di tengah Kesibukannya Sebagai Aktifis PAC IPNU Gapura, tak menjadi penghalang untuk tetap aktif di salah satu Kajian Sastra “Komunitas Kamis Sore.”


Nb: sumber foto Tribunnews.com

4 komentar: